Senin, 28 Desember 2015

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Psikologis Anak



1.      EMOSI
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberi respon secara emosional sudah dijumpai pada bayi yang baru lahir. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkah laku tersebut tidak dipelajari. Tingkah laku pertama tersebut adalah “excitement” terhadap rangsang yang kuat, dalam bentuk gerakan yang tidak terarah.
Dalam perkembangan selanjutnya, bayi mulai mendeferensiasikan reaksi sederhana tersebut menjadi respon yang menyenangkan dan respon yang tidak menyenangkan. Respon yang tidak menyenangkan tersebut terlihat dalam bentuk tangis dan gerakan yang tidak terarah.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa respon emosional menunjukkan perkembangan mulai dari respon yang difus, random, dan tidak terderensiasi menjadi respon yang jelas, terarah, dan terdiferensiasi.
Pada mulanya seorang bayi menunjukkan ketidaksenangannya dengan cara menjerit dan menangis. Ketika bayi tersebut bertambah besar, ketidaksenangannya diungkapkan dengan cara melemparkan benda, mengejangkan tubuh, memalingkan muka, berlari, bersembunyi, dan sebagainya. Dengan bertambahnya usia, respon motorik cenderung menurun dan digantikan dengan respon yang bersifat verbal.

2.      LINGKUNGAN 


Secara garis besar, manusia sejak usia kanak kanak hingga dewasa selalu berada dalam keadaan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Menurut penelitian pakar neurologi otak, manusia akan senantiasa dibentuk oleh lingkungan atau faktor eksternal dari luar tubuhnya dalam setiap detik kehidupannya, selama ia masih dapat bernapas.
Pengaruh lingkungan pada anak-anak sangat luar biasa karena pada masa kanak-kanak dikenal “the golden age" atau masa keemasan di mana penyerapan hal-hal yang membentuk pola di dalam otak anak berlangsung sangat cepat dan mudah. Di dalam otak anak terdapat milyaran sel syaraf, dan pada sel-sel syaraf tersebut akan terbentuk pola-pola mental dan karakter. Contohnya seorang anak yang memiliki pengalaman disuntik dengan sedikit dipaksa. Kejadian tersebut meninggalkan rasa sakit sehingga terekam dan meninggalkan pola asosiasi yang kuat pada anak, bahwa setiap orang yang berpakaian putih-putih identik dengan suntikan. Akibatnya dengan hanya melihat orang berpakaian putih-putih seperti dokter, suster atau orang lain yang mungkin tidak ada hubungannya dengan suntikan dia sudah merasa ketakutan dan histeris. Sayangnya, orang tua sering mengabaikan hal-hal yang terlihat sepele semacam ini.
Contoh lain pengaruh lingkungan pada anak bisa dilihat pada cerita Tarzan. Tarzan begitu lihai berjalan, bercakap dan bertingkah laku seperti kera dan binatang-binatang hutan lainnya. Hal ini karena setiap waktu dalam sebuah kurun waktu tertentu ia senantiasa mendapatkan rangsangan-rangsangan dari lingkungan sekitarnya mengenai cara hidup di hutan. Ternyata saat ia dewasa dan bertemu manusia, baru ia sadari bahwa sebenarnya bukan seperti itu seharusnya ia berjalan, bercakap, dan bertingkah laku.
Pada orang dewasa, perulangan kejadian juga bisa menyebabkan terbentuknya pola perilaku. Misalnya orang yang sebelumnya tidak pernah menggosip, ketika ia mulai menggosip hal ini akan membentuk pola menggosip di otaknya. Semakin sering ia mencoba menggosip, pola yang terbentuk akan semakin kuat dan hidup. Menurut dr. Taufik Bachtiar, pakar neurologi otak Indonesia, ketika kebiasaan sudah menjadi terlalu sering, maka pola perkembangan otak akan menjadi hidup seolah-olah dia perlu berkembang, menjadi besar dan mencari sambungan yang lebih besar lagi. Pada akhirnya otak akan selalu berusaha mencari makanan untuk pola yang terbentuk ini. Orang yang terbiasa menggosip akan menjadi pusing ketika lama tidak menggosip. Pusing yang ia rasakan merupakan sinyal yang dikirim otak untuk mencari makanan, dalam hal ini menggosip.


             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Materi Ajar Fisika Kurikulum Merdeka