1. EMOSI
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan untuk memberi respon secara emosional sudah dijumpai pada bayi yang
baru lahir. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkah laku tersebut tidak
dipelajari. Tingkah laku pertama tersebut adalah “excitement” terhadap rangsang
yang kuat, dalam bentuk gerakan yang tidak terarah.
Dalam perkembangan selanjutnya, bayi
mulai mendeferensiasikan reaksi sederhana tersebut menjadi respon yang
menyenangkan dan respon yang tidak menyenangkan. Respon yang tidak menyenangkan
tersebut terlihat dalam bentuk tangis dan gerakan yang tidak terarah.
Secara
umum dapat disimpulkan bahwa respon emosional menunjukkan perkembangan mulai
dari respon yang difus, random, dan tidak terderensiasi menjadi respon yang
jelas, terarah, dan terdiferensiasi.
Pada mulanya seorang bayi menunjukkan
ketidaksenangannya dengan cara menjerit dan menangis. Ketika bayi tersebut
bertambah besar, ketidaksenangannya diungkapkan dengan cara melemparkan benda,
mengejangkan tubuh, memalingkan muka, berlari, bersembunyi, dan sebagainya.
Dengan bertambahnya usia, respon motorik cenderung menurun dan digantikan
dengan respon yang bersifat verbal.
2. LINGKUNGAN
Secara garis besar, manusia sejak usia kanak kanak hingga dewasa selalu
berada dalam keadaan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
Menurut penelitian pakar neurologi otak, manusia akan senantiasa dibentuk oleh
lingkungan atau faktor eksternal dari luar tubuhnya dalam setiap detik
kehidupannya, selama ia masih dapat bernapas.
Pengaruh lingkungan pada anak-anak sangat luar biasa karena pada masa
kanak-kanak dikenal “the golden age" atau masa keemasan di mana
penyerapan hal-hal yang membentuk pola di dalam otak anak berlangsung sangat
cepat dan mudah. Di dalam otak anak terdapat milyaran sel syaraf, dan pada
sel-sel syaraf tersebut akan terbentuk pola-pola mental dan karakter. Contohnya
seorang anak yang memiliki pengalaman disuntik dengan sedikit dipaksa. Kejadian
tersebut meninggalkan rasa sakit sehingga terekam dan meninggalkan pola
asosiasi yang kuat pada anak, bahwa setiap orang yang berpakaian putih-putih
identik dengan suntikan. Akibatnya dengan hanya melihat orang berpakaian
putih-putih seperti dokter, suster atau orang lain yang mungkin tidak ada
hubungannya dengan suntikan dia sudah merasa ketakutan dan histeris. Sayangnya,
orang tua sering mengabaikan hal-hal yang terlihat sepele semacam ini.
Contoh lain pengaruh lingkungan pada anak bisa dilihat pada cerita
Tarzan. Tarzan begitu lihai berjalan, bercakap dan bertingkah laku seperti kera
dan binatang-binatang hutan lainnya. Hal ini karena setiap waktu dalam sebuah
kurun waktu tertentu ia senantiasa mendapatkan rangsangan-rangsangan dari
lingkungan sekitarnya mengenai cara hidup di hutan. Ternyata saat ia dewasa dan
bertemu manusia, baru ia sadari bahwa sebenarnya bukan seperti itu seharusnya
ia berjalan, bercakap, dan bertingkah laku.
Pada orang dewasa, perulangan kejadian juga bisa menyebabkan
terbentuknya pola perilaku. Misalnya orang yang sebelumnya tidak
pernah menggosip, ketika ia mulai menggosip hal ini akan membentuk pola
menggosip di otaknya. Semakin sering ia mencoba menggosip, pola yang terbentuk
akan semakin kuat dan hidup. Menurut dr. Taufik Bachtiar, pakar neurologi otak
Indonesia, ketika kebiasaan sudah menjadi terlalu sering, maka pola
perkembangan otak akan menjadi hidup seolah-olah dia perlu berkembang, menjadi
besar dan mencari sambungan yang lebih besar lagi. Pada akhirnya otak akan
selalu berusaha mencari makanan untuk pola yang terbentuk ini. Orang yang
terbiasa menggosip akan menjadi pusing ketika lama tidak menggosip. Pusing yang
ia rasakan merupakan sinyal yang dikirim otak untuk mencari makanan, dalam hal
ini menggosip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar